• Jelajahi

    Copyright © UrbanNews - Berita Aktual Seputar Kota
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan


    Dari Macet Cipularang ke Hati Buruh Yang Sering Disalahkan

    Jumat, 27 Juni 2025, 17:31 WIB Last Updated 2025-06-27T10:32:03Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    Kemacetan Cipularang (ilustrasi/PRFN)


    UrbanNews - Bayangkan Anda terjebak di Tol Cipularang, mobil berderet 12-25 km, panas menyengat, dan anak di kursi belakang mulai rewel. Libur Tahun Baru Islam 2025 yang seharusnya menyenangkan berubah jadi mimpi buruk. Anda mengeluh, tapi di media sosial, tak ada cacian atau hujatan. Hanya keluhan ringan, bahkan candaan tentang “macet liburan”. Kini, bayangkan skenario lain: kemacetan serupa terjadi karena demo buruh. Tiba-tiba, linimasa dipenuhi makian, tudingan buruh egois, dan cerita istri Ridwan Kamil yang terjebak 3 jam mendapat simpati ribuan orang. Mengapa beda? Wahyu Hidayat dari Spirit Binokasih bertanya: mengapa perjuangan buruh untuk hidup layak selalu disalahkan, sementara macet akibat libur atau proyek diterima begitu saja?

    Coba dengar kisah Hussein, buruh pabrik di Purwakarta. Setiap hari, ia bangun jam 4 pagi, bekerja 12 jam demi gaji yang tak cukup untuk sekolah anaknya. Ketika dialog dengan PJ Gubernur soal upah layak mentok, ia dan rekan-rekannya turun ke jalan untuk dapat memberi tekanan dan membebaskan PJ Gubernur dari keras kepalanya. Dari egoisme jabatannya. Bukan karena ingin mengganggu, tapi karena tak ada pilihan lain. Mereka ingin anak-anak mereka makan tiga kali sehari, ingin istri mereka tak lagi cemberut atau menangis karena tagihan. Tapi, alih-alih empati, mereka malah mendapat hujatan. “Buruh Biang Rusuh! Sampah Negara!" kata netizen. Sementara itu, saat Tol Cipularang macet karena libur atau proyek Jasa Marga, publik hanya menghela napas, “Ya, namanya juga libur.”

    Ketidakadilan ini menyakitkan. Buruh bukan penutup jalan, mereka adalah manusia yang berjuang untuk harga diri. Mereka membangun gedung-gedung yang kita banggakan, menjahit pakaian yang kita pakai, tapi saat mereka menuntut keadilan, kita menoleh ke sisi lain. Wahyu Hidayat mengajak kita merenung: jika kita bisa sabar dengan macet liburan, mengapa kita tak bisa sabar dengan perjuangan buruh? Mereka bukan musuh, mereka adalah kita—tetangga, saudara, dan tulang punggung bangsa. Saatnya kita berhenti menghakimi dan mulai mendukung. Keadilan bukan hanya untuk yang kaya, tapi juga untuk mereka yang berjuang di jalanan.
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    NamaLabel

    +